Aku dan Jaran Kepang
Hembusan
udara dingin menyelimuti pagi buta dari
ufuk timur hingga ke ujung barat. Bintang-bintang berkilauan di angkasa raya
Sang Maha Pencipta. Sebelum fajar menjelang siang. Sebelum muadzin
mengumandangkan adzan. Sebelum sang surya tersenyum di atas cakrawala bumi Sumatera.
Aku telah terbangun,setiap pagi tidur ku sedikit terusik dengan suara seperti
gendang bertabuh yang mengganggu mimpi indah ku. Aku kembali menarik selimut
yang menutupi seluruh tubuh ku dan terjatuh di bawah lantai yang terbuat dari
ubin bersemen kasar. Ku tinggalkan begitu saja.
Ku
lirik jam pada dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Masih pukul tiga pagi,gumamku.
Ku buka sedikit kain yang menutupi kamar ku,kulihat dari celah-celah kain itu
yang sudah berlubang juga sudah lusuh dan kusam. Maklum saja sudah hampir empat
tahun kain itu tidak diganti masih seperti yang dulu. Saat aku baru duduk di
bangku sekolah menengah pertama. Kain itu tetap setia menjadi hiasan pintu
kamar ku.
Kulihat
dari celah-celah kain itu,seorang wanita separuh baya sangat lihai memegang
benda seperti kayu gelondong yang tidak terlalu besar. Namun sudah di perhalus
dan sebuah wadah yang berisikan butir-butir padi di dalamnya. Aku tidak heran dengan benda
itu,setiap pagi tidur ku selalu terusik olehnya. Warna aslinya yang berwarna
coklat muda,kini telah berubah menjadi hitam gelap dan kusam. Itu lesung tua
milik almarhum nenek. Masih hangat di dalam ingatan ku,saat nenek mengajari menggunakan lesung tua itu. Saat itu usia ku
masih delapan tahun.
Manis
pahitnya liku-liku kehidupan telah kami rasakan dalam hidup ini. Seketika aku
sadar air mata ini menetes seakan hidup ini tidak adil untuk aku,emak,dan
bapak. Ku hela napas panjang,mengusap tetesan air mata. Mencoba tersenyum untuk
mengawali pagi ini. Emak masih sibuk melakukan pekerjaannya menumbuk padi.
Sebagian untuk di jual kepada tetangga dan sisanya untuk makan kami bersama.
Emak melakukan itu semua untuk mendapatkan sesuap nasi sebagai penyambung hidup
kami.
Aku
mengucek kedua bola mata ku menghampiri emak yang masih memainkan alat musik
khasnya di pagi hari. Emak,sapa ku
sambil tersenyum. Loh sudah bangun nduk?
Emak kaget melihat ku berdiri di sampingnya. Itu panggilan anak perempuan jawa
untuk anak seusia ku. Aku mengambil kursi kayu dan duduk di samping emak. Emak apa tidak capek,setiap pagi harus menumbuk padi? Salah satu
pertanyaan ku di tengah-tengah perbincangan di dalam rumah sederhana milik kami.
Udara masih sangat dingin. Aku menarik kain batik yang terletak di atas kursi,tepat
di sebelah ku. Melilitkan kain itu ke seluruh tubuh ku. Emak tidak menjawab
pertanyaan ku. Hanya menghirup udara dalam-dalam. Tampak raut wajahnya yang
bertambah tua dan bagian kulit wajah yang semakin keriput.
Hari ini emak buatkan gorengan
pisang dan keripik singkong,jangan
lupa di bawa ke sekolah,kata emak
kepada ku. Aku hanya mengangguk tanpa menolak. Sayup-sayup terdengar dari
kejauhan,suara adzan berkumandang di Surau yang tidak jauh dari rumah kami.
Segera aku mengambil air wudhu di tempayan. Menunaikan kewajiban ku,bersujud
menghadapNYA. Membawa hikmah untuk pagi ini.
Matahari
mulai menampakan dirinya yang bermandikan cahaya di angkasa biru. Setiap pagi
aku sibuk membersihkan sepeda ontel milik almarhum kakek ku. Meletakan gorengan
buatan emak di keranjang depan. Hari ini bapak semangat sekali membersihkan
peralatan kesenian Jaran Kepang milik keluarga kami. Budaya kesenian itu di
wariskan secara turun temurun oleh almarhum kakek buyut ku. Dahulu kakek buyutku
lahir di tanah jawa. Disanalah kakek buyut ku belajar budaya kesenian Jaran
Kepang hingga berimigrasi ke pulau Sumatera. Kesenian itu tetap di lestarikan
karena telah mendarah daging di keluarga kakek buyut ku. Nama group Jaran
Kepang keluarga kami adalah Gendang Sriwijaya. Nama itu pemberian almarhum
kakek buyut ku dan tetap kami gunakan sampai saat ini. Bapak di undang lagi di acara
hajatan,dimana? Aku bertanya ingin tahu.
Di kampung sebelah, nanti kamu harus
ikut,ucap bapak kepadaku. Aku
mengangguk lalu pergi menaiki sepeda ontel tua itu. Menuju sekolah yang
berjarak dua kilometer dari rumah ku.
Kesenian
Jaran Kepang adalah kesenian asli suku Jawa. Di pulau Sumatera sendiri
pertunjukan Jaran Kepang banyak di lestarikan. Hanya saja nama keseniannya yang
berbeda-beda. Kesenian Jaran Kepang hampir sama dengan kesenian Kuda Lumping. Karena
penari akan menggunakan kuda,yang di sebut dengan kuda lumping. Sambil menari
mengikuti alunan musik yang di mainkan. Rangkaian acara pertunjukan di mulai
dengan dimainkannya alat musik dan penari akan berjoget sambil menunggangi kuda
lumping,bagian ini di sebut dengan kiprah. Dan acara yang terakhir adalah
mengundang jin atau makhluk halus untuk masuk kedalam tubuh penari atau
penonton. Setelah tubuh mereka di masuki makhluk halus,maka mereka akan
berperilaku aneh sesuai makhluk yang masuk kedalam tubuh mereka.Biasanya akan
meniru jenis binatang tertentu,misalnya Monyet dan Macan.Tidak semua orang
dapat di masuki jin atau makhluk halus,hanya orang tertentu yang memiliki jin
atau makhlus halus penjaga dirinya. Dalam kesenian Jaran Kepang disebut dengan
endang.
Banyak
hal- hal yang harus di persiapkan dalam pertunjukan Jaran Kepang,mulai dari
alat musik,benda-benda pusaka sampai hal-hal apa saja yang harus di sediakan
selama pertunjukan berlangsung. Alat musik yang digunakan dalam pertunjukan Jaran kepang bermacam-macam
mulai dari gendang,saron,gemung,gong,kecrek,angklung dan bonang.
Masih
banyak hal-hal yang harus di persiapkan,yang pertama adalah kemenyan. Kemenyan
digunakan untuk memanggil makhluk halus atau endang. Dan yang kedua adalah
bunga setaman,buah-buahan,dan air, digunakan untuk makan orang-orang atau
penari yang telah kerasukan endang. Dan yang terakhir adalah minyak duyung yang
digunakan untuk minum orang-orang yang telah kerasukan. Selain memiliki nilai
budaya yang sangat kental. Tentu ada makna dan tujuan yang terkandung di dalam
kesenian tersebut, masih percaya akan hal-hal yang berbau mistis serta saling
menghargai keberadaan makhluk halus untuk tidak saling mengganggu,sebagai
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
Aku
Puja Kesuma ( Puteri Jawa Kelahiran Sumatera). Walaupun aku lahir di tanah
batak tapi semangat ku untuk tetap melestarikan budaya ku tidak akan pernah
luntur. Karena setiap budaya adalah bentuk kepribadian suatu bangsa. Aku masih
mengayuh sepeda ontel tua,melewati jalan kecil persawahan.Memberikan senyum
terindah untuk pagi ini.
Terimakasih sudah melihat blog saya, Jika masih ada yang penasaran dengan kesenian "Jaran Kepang" Anda bisa menyaksikannya langsung,ataupun lewat youtube,semoga artikel saya bermanfaat,Berikut ini adalah foto kesenian Jaran Kepang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar